Gunung Gede Pangrango: Revisit Double Summit


Kira-kira awal tahun 2014 lalu, Gunung Pangrango adalah gunung pembukaan awal tahun gue dalam mendaki gunung. Lupa? Cerita soal pendakian Gunung Pangrango yang ngehits sekaligus mistis itu bisa dibaca dimari. Sementara pendakian gue ke Gunung Gede, gue aja lupa kapan terakhir manjat ke sana. Either 2012 atau 2013-an. Tapi gue inget banget, awal-awal manjat gunung, gunung Gede adalah gunung yang paling sering gue panjat. Tapi gak pernah bosyan. Makanya ada tulisan gue soal Kompilasi Cerita Gunung Gede.

Di awal tahun ini, saking kangennya sama Gunung Gede Pangrango, gue menyambut ajakan Ikus dan serombongan anak Jalan Pendaki lainnya buat ikut mereka double summit Gede Pangrango. Apa itu double summit? Yaitu mendaki dua gunung sekaligus dan langsung meraih dua puncak gunung agar gemilang bercahaya seperti para finalis AFI yang entah dimana rimbanya sekarang.

Basecamp Gunung Putri

Berbekal rasa percaya diri, doa dari mamah papah, dan restu dari pacar (di masa depan), gue memantapkan langkah kaki yang imut menggemaskan ini ke tanah bumi parahyangan bersama ke 8 temen-temen gue untuk membasmi kejahatan. Sesampainya di basecamp gunung putri.....

....men, ini basecamp pendakian gunung apa konser dahsyat akhir pekan di parkiran mall? RAME BINGGOW!

Ternyata basecamp Gunung Putri sudah berubah. Aku... aku hampir gak mengenalinya lagi. Terakhir ke sana cuma ada beberapa orang pendaki dan warung-warung sepi ditemani angin yang berdesau. Di jam yang sama, mendekati fajar menyingsing, satu tahun berikutnya, halah ribet amat, intinya, sekarang, basecamp Gunung Putri gak ubahnya tempat latian manasik haji, ramai dan penuh sesak diiringi tangisan anak-anak kecil yang kehilangan ibunya. Lah ini lebay amatan.

Setelah antri pemeriksaan SIMAKSI, kami langsung menanjak menuju Surya Kencana. Well, pengalaman gue di Semeru terulang lagi. Mendaki gunung yang jalurnya cuma cukup buat setapakan kaki satu orang, sehingga musti ngantri. Okay skip.

Perjalanan dari basecamp Gunung Putri sampai ke Surya Kencana gak bisa banyak gue ceritain, selain jalur yang sekarang udah banyak di paving block, tanah yang masih liat, akar yang masih mendominasi perjalanan dan bikin jengkel. Oh, bikin kesandung juga. Sisanya, ya palingan ujan yang tiba-tiba deras, cacing yang segede tali rafia, sama jalanan yang gak kelar-kelar tanjakannya. YA ALLOH JALUR PUTRI GINI AMAT YA....



Surya Kencana.

"Pep, itu lo jangan pegang gagang payungnya, kan besi, ntar kesamber." kata gue mengingatkan Ipep pas kita lagi menyusuri Surya Kencana yang maha luas itu di tengah hujan badai dan petir imut yang menyambar-nyambar.

"Bang, kita jalan di atas air sih....." jawab Ipep.

Terus gue melongo. Bener juga ya, air kan juga penghantar listrik yang baik. Petir nyamber? Bye binggow,

JDAAAAARRRRR BLAAAAARRRRRRRRRR CTARRRRRR KIYUW

"KYAAAAARRRRRRGGGGHHHHHHHH!!!!"

Dan bener aja petir nyamber kenceng bener persis di sebelah kanan gue. Sementara Ipep dan Anjar cuma kaget-bengong, gue teriak histeris kayak ibu-ibu melahirkan. Gue merasa pencitraan pria berbadan kekar yang gue sebarkan selama ini tumbang bersamaan degan teriakan cempreng gue. Untung suara gledeknya lebih kenceng. Tapi jantungannya gue gak ilang-ilang. Shit, man!

Tapi, pepatah habis hujan terbitlah pelangi ada benernya juga. Setelah petir yang menggelegar dan hujan yang gak tau aturan itu deres sederes-deresnya, pemandangan sore di Surya Kencana.... gak tergantikan!





Semburat merah langit senja membuat sore itu di Surya Kencana benar-benar memanja....

...apasih byebanget.

Besoknya, kita langsung menuju Puncak Gunung Gede. Sebenernya, banyak kejadian menyebalkan sih, tapi karena gue lagi terapi anti nyinyir, jadi biarlah Surya Kencana yang menyimpan cerita itu. Okay, gue ceritain aja deh. Jadi si Anjar, dia itu menyebalkan banget, setiap ditanya orang-orang, kita ini rombongan dari mana, dia akan jawab:

Mas2: "Rombongan darimana, Mas?"

Anjar: "Kami dari..... *dengan nada vokalis band yang lagi ngenalin band-nya di tipi tipi*
             .........CIMAHIIIIII....." *dengan nada melengking ala-ala perhelatan Miss Universe

Kan beteque, yak?

Anjar CIMAHI dan senior, selamanya.
Perjalanan menuju puncak gunung manapun memang selalu ashoo dan melelahkan. Terlebih, jalur menuju puncak Gede udah di-paving-in. Gue masih berpikir keras, gimana perasaan mereka bikin jalan paving di gunung. But, kelelahan dalam bentuk apapun selalu terbayar ketika udah sampai sini. Meskipun begitu sampai Puncak Gede....

....innalillahi....

Puncak Gunung Gede sekarang jadi kayak terminal, rame banget pedagang asongan pada ngetem. Maklumin aja, gue naik pas banget di long weekend mix combo pertama kali Gede-Pangrango dibuka di tahun 2015 ini. Ya jadinya gitu dech atuch!





Kandang Badak.

Anggap aja gue adalah avatar yang bisa menguasai waktu jadi tau-tau udah sampai di Kandang Badak. Okay, skip. Dari puncak sampai ke Kandang Badak, jalurnya masih sama aja sih. Masih banyak pohon-pohon yang bisa dipake buat pecicilan, masih ada tanjakan setan yang pake tali-tali, buat gue setelah main-main ke Gunung Parang sih, tanjakan setan ini jadi serasa cemen aja gitu sekarang. *congkak *kemudian diazab *kuburan sempit *dikata majalah hidayah kali ah

Sesampainya di Kandang Badak, you know what, se-Kandang Badak, tendaaaaaaa semua! Terakhir gue kemari, tenda palingan sebiji dua biji jadi nyari lapak ngampar masih gampang, lah ini... Nyarii lapak nenda sama susahnya kayak nyari lapak boker. Tenda dimana-mana. Feses yang masih fresh juga dimana-mana.

Tapi akhirnya kami dapet satu spot juga. Lokasi lumayan strategis. Deket tumpukan sampah dan deket rawa-rawa jadi-jadian. Trus agak miring, jadi yah, gitu deh. Becek, bau, dan gak nyaman.  Jauh dari kata bintang lima. Hotel kali ah. Ucing ala aliando. LAH NGAPA ALIANDO GUE BAWA BAWA JUGA DAH.

Menuju Pangrango

Gak ada kegiatan yang menarik di Kandang Badak selain ngomongin orang sambil ngemilin mie giant yang bumbunya super nyegrak itu, oke, plis, siapapun, jangan beli mie giant buat dibawa ke gunung, selain rasanya hambar, bumbunya juga gak enak kalau dibuat cemilan keras. Juga menikmati derasnya hujan yang rese banget. Hujan apalagi deras, kalau di kantor, di apartment, di tempat-tempat yang ada jendela luasnya emang selalu bisa jadi bahan galau dan romantis. Tapi hujan deras di gunung?

HAHHAHHAAHA. Boro-boro romantis, bikin hypo iya.

Perjalanan ke menuju Puncak Pangrango dimulai dari jam 4 pagi. Eh jam 3 ding, setelah dibangunin satpam komplek yang ikut-ikutan naik gunung, si Reza Lepi. Doi ngebangunin orang resah banget kayak gadis perawan minta buru-buru dinikahin. Tapi sayang, karena kesandung akar hingga terguling, terjungkal, dan salto 360 derajat waktu perjalanan turun ke Kandang Badak, dia jadi gak bisa ikut rombongan muncak Pangrango, cedera katanya. Mungkin cederanya gak seberapa, tapi siapa tau hatinya sedang rapuh, jadi kami gak mau memaksa. *kemudian drama terjadi


bunda ratu dan dayang-dayangnya



Buat gue, perjalanan ke Pangrango kali ini lebih menyenangkan! 

Yaiyalah, terakhir ke Pangrango kan udah gak tau jalurnya kayak apa, medannya berat kagak, tapi nekat pake keril full muatan, belum makan pula, langsung digeber. Chuapeq-nya amphoon! Nah, kesempatan kali ini, muncak Pangrango cuma bawa tas slempang kecil gemets yang isinya cuma jajanan dan air. Enteng dan maksimal serunya!

Ipep mukanya jidat semua, yes?

Mandalawangi

"Welcome to Mandalawangi!" ucap gue kepada Ikus, bunda ratunya Jalan Pendaki komunitas, karena ini kali pertamanya menyambangi Mandalawangi, lembah dari gunung yang dia idam-idamkan selama setahun belakangan ini.

"Hiks.. beeeeebbbbbb...." sambutnya langsung meluk gue sambil mrebes mili. Iya, jangan heran, selain drama, tante-tante yang satu ini emang hobi peluk-peluk lakik sembarang tempat. Siapa aja, dimana aja, beware.

"Woi, gimana makanan, udah beres?" teriak gue ke tim advance, Ipep, Aprie, Sutan, Anjar yang udah sampai duluan di Mandalawangi. Tapi yang gue liat cuma kompor anti badai yang terkembang dan mie yang berserakan.

"Kita bawa kompor, tapi ternyata kita gak bawa nesting, bang......"

BLARRRRRRR

*masak pake udara*

Untungnya, kita ketemu sama salah satu anak Jalan Pendaki komunitas, bang BM Bangun, yang kebetulan lagi ada pelantikan Aesthetica, grup mapala ISTN, almamaternya itu. Jadi, malah bisa makan sepotek ayam di Mandalawangi. Aku terharu~

pose jidat mandalawangi ala ipep

pose ala kimcil aprie

Anyway,

Revisit sekaligus Double Summit Gunung Gede Pangrango kemaren buat gue unforgettable moment banget! Karena gue naik dengan team yang solid, yang saling support satu sama lain sekaligus saling ngecengin rauwis-uwis. Sedingin apapun Surya Kencana saat itu, sesepi apapun fajar menuju Pangrango kala itu, apapun makhluk yang ngikutin rombongan gue, bagaimanapun sok cantiknya Ikus maupun Reza dan Mamat, dan melelahkannya turun gunung sambil loncat-loncat sambil ciat-ciat sampe kehabisan napas dan mungkin dianggap rusuh sama rombongan lain....

....naik gunung bersama team yang tepat emang selalu jadi pengalaman yang sangat menyenangkan!

In the end, gue cuma mau bilang,

Aku nyaman bersama kalian.

*kemudian kangen*
*kemudian ikus nangis*

Yuk, naik bareng lagi!!! 

Join, anyone?

Comments